Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,
المَسْحُ عَلَى الخُفَّيْنِ:
وَالمَسْحُ عَلَى الخُفَّيْنِ جَاِئزٌ بِثَلاَثِ شَرَائِطَ : أَنْ يَبْتَدِئَ لُبْسَهُمَا بَعْدَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ وَأَنْ يَكُوْنَا سَاتِرَيْنِ لِمَحَلِّ الفَرْضِ مِنَ القَدَمَيْنِ وَأَنْ يَكُوْنَا مِمَّا يُمْكِنُ تَتَابُعُ المَشْيِ عَلَيْهِمَا
وَيَمْسَحُ المُقِيْمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَالمُسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ بِلَيَالِيْهِنَّ وَابْتِدَاءُ المُدَّةِ مِنْ حِيْنِ يُحْدِثُ بَعْدَ لُبْسِ الخُفَّيْنِ فَإِنْ مَسَحَ فِي الحَضَرِ ثُمَّ سَافَرَ أَوْ مَسَحَ فِي السَّفَرِ ثُمَّ أَقَامَ أَتَمَّ مَسْحَ مُقِيْمٍ.
مُبْطِلاَتُ المَسْحِ عَلَى الخُفَّيْنِ:
وَيَبْطُلُ المَسْحُ بِثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ : بِخَلْعِهِمَا وَانْقِضَاءِ المُدَّةِ وَمَا يُوْجِبُ الغُسْلَ.
Mengusap khuf
Mengusap khuf itu boleh dengan tiga syarat yaitu:
- Kedua khuf dipakai setelah bersuci sempurna.
- Kedua khuf menutup bagian kaki yang wajib dibasuh.
- Kedua khuf terbuat dari bahan kuat dipakai untuk berjalan.
Orang yang mukim boleh mengusap khufnya selama sehari semalam. Sedangkan, musafir boleh mengusap khufnya selama tiga hari tiga malam. Waktunya dimulai ketika berhadats setelah memakai kedua khuf. Jika seseorang mengusap khuf ketika mukim, kemudian melakukan safar, atau mengusap khuf ketika melakukan safar, kemudian mukim, maka ia menyempurnakan waktu mengusap khuf seperti orang mukim.
Mengusap khuf menjadi batal karena tiga hal yaitu:
- Melepas sepatu.
- Habis jangka waktunya.
- Terjadi sesuatu yang mengharuskan mandi.
Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun, sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” (HR. Abu Daud, no. 162. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih)
Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6) (Lihat HR. Ibnu Majah, no. 543. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
Baca juga: Dalil-Dalil Anjuran Mengusap Khuf
Beberapa catatan tentang mengusap khuf
- Hukum mengusap khuf adalah boleh. Hal ini menunjukkan bahwa mencuci kedua kaki saat wudhu lebih afdal daripada mengusap khuf.
- Yang diusap adalah kedua khuf, bukan salah satunya saja. Kecuali kalau salah satu kakinya tidak ada, maka cukup mengusap yang ada saja.
- Mengusap khuf ini berlaku pada wudhu, bukan pada mandi wajib, mandi sunnah, bukan pada saat menghilangkan najis.
- Jika ada yang junub lalu kakinya berdarah, lalu kakinya ingin diusap sebagai ganti dari mencuci kaki, maka tidaklah sah.
Syarat mengusap khuf
Pertama: Kedua khuf dipakai setelah bersuci sempurna.
- Seandainya satu kaki dicuci saat wudhu, lalu khuf dikenakan, kemudian satu kaki lagi dicuci, lalu khuf berikutnya dikenakan, maka tidaklah cukup.
- Seandainya sudah selesai bersuci sempurna, kemudian datang hadats sebelum kakinya sampai pada dasar khuf, maka mengusap tidaklah sah.
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan,
{ كُنْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ ( فَتَوَضَّأَ, فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ, فَقَالَ: “دَعْهُمَا, فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ” فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
“Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau berwudhu aku pun turun untuk melepaskan kedua sepatu beliau. Beliau bersabda, ‘Biarkan saja kedua sepatu itu karena aku memakainya dalam keadaan suci.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua sepatu tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 206 dan Muslim, no. 274, 79)
Kedua: Kedua khuf menutup bagian kaki yang wajib dibasuh.
- Seandainya khuf hanya menutup bagian di bawah mata kaki, maka tidak sah untuk diusap.
- Khuf yang dimaksud adalah menutupi (tidak tembus air), bukan syaratnya tidak boleh tembus pandang ke dalam (seperti kaca), bagian bawah dan samping tertutup, bukan bagian ujung atas khuf.
Ketiga: Kedua khuf terbuat dari bahan kuat dipakai untuk berjalan.
- Karena khuf ini digunakan oleh musafir untuk bolak-balik berjalan.
- Khuf ini harus kuat untuk jalan, tidak tembus air (dari jalan selain lubang khuf).
Keempat: Bahan khuf itu suci.
Jika khuf berasal dari kulit yang najis seperti kulit anjing dan babi, maka tidak sah untuk diusap.
Waktu Mengusap Khuf
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim, no. 276)
- Orang yang mukim mengusap khuf selama sehari semalam. Sedangkan, musafir boleh mengusap khuf selama tiga hari tiga malam.
- Waktu memulai mengusap khuf (1×24 jam untuk mukim atau 3×24 jam untuk musafir) dari berhadats berakhir setelah memakai kedua khuf, berarti bukan dihitung dari mulainya berhadats, bukan pula dari awal mengusap khuf, bukan pula dari pertama kali mengenakan khuf.
- Jika seseorang mengusap khuf ketika mukim, kemudian melakukan safar, atau mengusap khuf ketika melakukan safar, kemudian mukim, maka ia menyempurnakan waktu mengusap khuf seperti orang mukim karena hukum asal adalah mukim dan mengusap khuf hanyalah rukhshah (keringanan), yang diambil adalah kehati-hatiannya.
- Safar yang dibolehkan mengusap khuf adalah (1) safar yang boleh (bukan safar untuk maksiat), tetapi jika dia bermaksiat dengan safarnya, maka hendaklah ia mengusap sebagaimana orang mukim; (2) safarnya adalah yang menempuh jarak untuk qashar shalat (sekitar 84 KM).
Cara mengusap khuf:
- Mengusap bagian atas khuf, sedangkan mengusap bagian bawahnya adalah sunnah.
- Khuf bukan dicuci, tetapi diusap.
- Khuf bukan diusap seluruhnya secara merata.
- Yang disunnahkan adalah mengusap khuf sekali saja, bukan berulang kali.
Pembatal mengusap khuf
- Melepas kedua khuf atau melepas salah satunya atau terlepas atau khuf tidak layak lagi untuk diusap seperti sobek.
- Habis jangka waktunya, yaitu 1×24 jam untuk orang mukim dan 3×24 jam untuk musafir. Jika ragu mengenai masa berakhirnya mengusap khuf, maka kembali ke hukum asal yaitu mencuci kaki.
- Terjadi sesuatu yang mengharuskan mandi, seperti karena junub, haidh, nifas bagi yang mengenakan khuf.
Catatan: Mengusap kaos kaki tidaklah sah karena kaos kaki terlalu tipis, tidak menghalangi air masuk ke kaki. Kaos kaki pun tidak layak digunakan untuk berjalan layaknya khuf. Tidak ada pendapat yang membolehkan hal ini kecuali salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
- Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
- Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
Baca Juga: Manhajus Salikin: Hukum dan Hikmah Mengusap Khuf
–
Diperbaharui pada 20 Muharram 1444 H, 18 Agustus 2022
Artikel Rumaysho.Com